Senin, 26 April 2010

Bermewah-mewahan Sumber Malapetaka

Israf diharamkan oleh Islam dan akan terus diperangi karena dia dianggap dapat merusak kehidupan individu dan masyarakat. Itulah yang dinamakan “At-Taraf” (kemewahan), yaitu terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis makanan dan minuman serta apa saja yang bisa menghiasi tubuh dari perhiasan dan kosmetik, atau apa saja yang memadati rumah dari perabot dan hiasan, seni dan patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sebagainya.

Sesungguhnya Al Qur’an menganggap kemewahan sebagai penghambat pertama yang akan menghalang-halangi manusia untuk mengikuti yang kebenaran (Al haq). Karena sesungguhnya kemewahan itu tidak akan membiarkan para pelakunya leluasa tanpa belenggu syahwat mereka. Maka barangsiapa yang mengajak mereka ke arah selain itu, niscaya mereka akan memusuhi dan memeranginya. Allah berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu di utus untuk menyampaikannya.” (Saba’: 34)

Kemewahan itu memiliki beberapa akibat yang tidak bisa atau sulit dihindari oleh pelakunya seperti bermain-main, iseng dan pornografi. Kemudian menyebarluaskan degradasi moral yang itu bisa berakibat kepada pudarnya ikatan akhlaq serta meluasnya pengaruh hawa nafsu di kalangan ummat. Akibat lain adalah timbulnya kesenjangan, karena banyak orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan primer mereka, sementara sekelompok kecil dari kalangan tertentu menikmati sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, di antara kebutuhan sekunder, bahkan lebih dari itu. Dari sinilah maka seluruh masyarakat terancam oleh kehancuran dan siksa, akibat orang-orang yang berbuat kemewahan karena kemewahannya. Dan yang lain di luar mereka mendapat hal yang sama karena diam atau loyalitasnya terhadap mereka. Allah SWT berfirman:

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al lsra’: 16)



Sesungguhnya Al Qur’an telah menceritakan kepada kita bahwa hamba kemewahan merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa kebanyakan ummat sebagai peringatan dari Allah. Sehingga mereka tidak memperoleh kemenangan, bahkan benar-benar mendapat adzab. Allah SWT berfirman,

“Hingga apabila Kami timpakan adzab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami.” (Al Mu’minun: 64-65)

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zhalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan adzab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya.” (Al Anbiya’: 11-13)

Rasulullah menolak untuk mengambil alas tidur yang enak (empuk), dan bantal beliau terbuat dari kulit pohon. Beliau juga tidur di atas tikar sampai membekas di lambungnya, beliau wafat dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh dan sarung yang kasar. Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Ali RA, hingga Umar pernah berkata, “Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti wali anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya berhati-hati, tetapi jika saya memerlukannya maka saya memakannya dengan ma’ruf (baik).”

Sesungguhnya kebanyakan dari raja-raja (para pemimpin) dan amir di negeri-negeri Islam mengira bahwa harta negara itu adalah milik mereka, sehingga mereka pergunakan semaunya. Sedikit sekali dari kalangan mereka orang yang mau menghisab (menghitung) amal perbuatannya.

Sampai negara-negara yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga Parlemen dan lembaga pengawas pun tidak mampu untuk menyentuh (mengkritik) apa-apa yang berkaitan dengan kepala negara dan perangkat kekuasaannya.

Di sana ada lembaga-lembaga tertentu yang mempergunakan uang negara tanpa perhitungan dan tanpa persyaratan sehingga sepanjang waktu terus-menerus dipertanyakan oleh masyarakat seperti dinas penerangan, olahraga, lembaga-lembaga kemiliteran dan keamanan negara, serta lembaga-lembaga lain yang terkait erat dengan pelanggengan status quo penguasa.

Di saat yang sama terjadi pengiritan dan perampingan biaya yang berlebihan di dinas-dinas yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan pelayanan-pelayanan sosial masyarakat.

Sesungguhnya hukum mengharuskan adanya keseimbangan dalam berbagai kepentingan. Mendahulukan yang primer dari kepentingan sekunder, dan mendahulukan kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi, kelompok serta kepentingan fakir miskin dan orang-orang lemah atas kepentingan orang-orang besar yang kaya.

0 komentar:

Posting Komentar