Rabu, 28 Juli 2010

Kisah pilu bocah korba Tsunami

BANDA ACEH - Tsunami telah merampas kehidupan Rian. Tinggal sebatang kara tanpa keluarga, kini dia harus mengais rezeki dari kaki ke kaki.

Bocah itu memasuki sebuah warung kopi di kawasan Taman Sari, Banda Aceh. Matanya menatap tiap sudut yang diisi pengunjung, kemudian didekatinya untuk menawar jasa menyemir sepatu.

Begitulah aktivitas Rian Saputra (13) saban hari. Usai berstatus yatim piatu, hidupnya berubah 180 derajat. Rian jadi anak liar setelah ditinggal kedua orangtuanya yang raib ditelan musibah tsunami lima tahun silam.

Bermodal sepeda hibah seorang dermawan dan sebuah kotak berisi perkakas semir sepatu, dia berpetualang dari satu warung ke warung lainnya di Banda Aceh, untuk mengais rezeki tiap hari. Pendidikannya pun rela dikorbankan.

"Nggak sekolah lagi," kata Rian singkat.

Usai lulus di SD Muhammadyah Banda Aceh. Rian sempat melanjutkan ke SMP 17 Banda Aceh. Tapi beranjak naik kelas II, dia keluar dan memilih jadi penyemir sepatu. "Saya bisa beli apa yang saya suka dengan bekerja seperti ini," ujarnya.

Rian kerap dibayar Rp5 ribu tiap sepasang sepatu yang disemirnya. Dia menolak menyebutkan jumlah omset didapatnya sehari, bahkan kepada ibu angkatnya sekalipun.

Rian asal Dusun Tongkol, Desa Ulee Lheu, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh. Saat tsunami menghujam Aceh 26 Desember 2004, kawasan itu lenyap. Sekitar 14 ribu warga di sana termasuk keluarga Rian jadi korban.

Selamat dari amuk ombak gergaji, Rian dibawa oleh orang yang tak dikenalnya ke Lhoksuemawe, Aceh. "Di sana dia disuruh kerja semir sepatu. Sempat bekerja beberapa bulan kemudian dia lari karena merasa dirinya mau dijual," tutur Nilawati (40) ibu angkat Rian saat ditemui okezone, di rumahnya, beberapa waktu lalu.

Terlunta-lunta di kota kaya minyak dan gas alam itu, Rian akhirnya diboyong seseorang ke Banda Aceh. Nilawati dan suaminya Salmi (45) menampung bocah malang itu di rumah kumuh miliknya di bantaran Krueng Daroy, Blower, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh sejak 2007.

Nilawati dan Salmi bukan keluarga berada. Untuk menutupi biaya hidup, keduanya bekerja menjaja makanan ringan dan membakar jagung saban sore di Pantai Ulee Lheu. Pendapatannya sehari jauh dari cukup.

Keduannya memiliki enam anak. Kehadiran Rian di rumah berkontruksi kayu mirip gubuk itu jelas menambah beban biaya keluarga sangat sederhana itu. Tapi, Nilawati mengaku ikhlas menampung Rian. "Apa yang kami makan, kami kasih untuk dia. Rian sudah kami anggap anak kami sendiri, kami ikhlas, apalagi dia sudah yatim piatu," ujarnya.

Nilawati ikut membiayai Rian melanjutkan sekolahnya dan mengaji di Taman Pendidikan Alquran (TPA) seperti anak lain seusianya. Tapi, bocah itu lebih memilih bekerja.

Hidup Rian yang keras, membuatnya tertutup. Dia tak mengungkap alasannya meninggalkan bangku sekolah. Bahkan dia juga enggan berkisah kehidupannya bersama keluarga kandung sebelum tsunami. "Malah saya sendiri tidak tau nama orangtua kandung dia itu siapa," kata Nilawati.

Dia juga tak mudah percaya kepada semua orang. Kalau belum dikenalnya, sulit diajak berbicara. Malah, ada beberapa yang mendekati Rian dan mengakunya orangtua bocah itu, tapi Rian menolak tak mau ikut.

Tiga tahun bersama keluarga Nilawati beberapa orangtua asuh sempat mendekati Rian untuk diangkat menjadi anaknya. Tapi, Rian lebih memilih hidup di keluarga Nilawati.

Ironinya, meski dia korban tsunami, Rian tak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah. Warisan orangtuanya juga tak diketahuinya. "Rian tidak pernah dapat bantuan. Kami tidak berharap dibantu, tapi setidaknya ada kepedulian Pemerintah," ujar Nilawati.

Selama Piala Dunia 2010 bergulir kehidupan Rian makin misterius. Dia jarang pulang ke rumah, kecuali untuk mengganti baju. Nilawati sendiri sulit mendeteksi keberadaan anak angkatnya itu. "Saya sudah nasihati dia, tapi memang Rian susah diatur jadi saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya nggak mau dia tersinggung," tuturnya.

Mirisnya nasib Rian. Di saat anak seusianya mendapat pendidikan dan kehidupan layak, dia justru jadi bocah liar, bergerliya di jalanan.

Malam itu, jam menunjukkan pukul 19.40 WIB. Di balik meja-meja pengunjung, Rian pelan hilang meninggalkan warung kopi di kawasan Taman Sari, Banda Aceh. Mendayung sepeda sambil menenteng sebuah kotak kayu, dia kembali melanjutkan petualangnya ke warung lain, menawarkan jasa, untuk kaki-kaki bersepatu.(hri)

0 komentar:

Posting Komentar