Minggu, 25 Juli 2010

Ayahku tukang batu

Action & Wisdom Motivation Training

"Wo ba ba shi jian zhu gong ren"

Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang
putri yang menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai
tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor besar di
kota itu. Sayang, sang putri merasa malu dengan ayahnya.
Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya,
dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang
tidak jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di
perusahaan kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab
bekerja sebagai apa.

Si putri lebih senang menyembunyikan keadaan
yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak
dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai
tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak
semata wayangnya, sang ayah bersedih. Perkataan dan
perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari
keadaan yang sebenarnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis.
Si putri lebih banyak menghindar jika bertemu
dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di
kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan.
"Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah
seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk
melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak
putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh
dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri
mengikuti kehendak ayahnya.
Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman,
si ayah berkata,
"Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai
sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu.
Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah
tukang batu yang baik, jujur, disiplin, dan jarang
melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan
sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada
di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah
karena ayah salah satu orang yang ikut membangun.
Memang, nama ayah tidak tercatat di sana,
tetapi keringat ayah ada di sana.
Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di mana
ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari
gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa
bekerja dengan baik hingga hari ini."
Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana.
Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun
melanjutkan penuturannya,
"Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan
yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun
pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai
dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa
itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."
Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri
segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata,
"Maafkan putri, Yah. Putri salah selama ini.
Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah
seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah."
Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.

Pembaca yang budiman,
Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan
dirinya sendiri apa adanya. Entah itu
masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan,
dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri
atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi
dengan identitas dan keadaan yang dipalsukan.
Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan
yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam
keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan.
Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.
Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu,
jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas.
Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan
integritas sebagai manusia.
Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini
adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari
apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja
keras adalah keberanian!

Salam Sukses Luar Biasa!!!!
Andrie Wongso

0 komentar:

Posting Komentar